Menu

News

Setelah Putusan MK: Koalisi Pilkada Ambyar, Taji Jokowi Pudar

badge-check


Setelah Putusan MK: Koalisi Pilkada Ambyar, Taji Jokowi Pudar Perbesar

Kemarahan meledak di langit Senayan, Jakarta, Kamis (22/8). Koalisi Pilkada Ambyar Ribuan orang turun ke jalan dan menggeruduk Gedung DPR RI. Mereka berasal dari berbagai kalangan, mulai buruh, mahasiswa, akademisi, pekerja kreatif, komedian, sampai selebritas, termasuk aktor ternama Reza Rahadian.

Reza datang sendirian dan langsung berbaur dengan para demonstran. Pemeran Habibie dalam film Habibie & Ainun itu mengatakan tak bisa duduk tenang di rumah melihat DPR dan pemerintah seenaknya mengubah aturan, dalam hal ini revisi UU Pilkada, dengan mengabaikan putusan MK demi kepentingan keluarga dan kelompok.

“Menyedihkan kalau caranya begini … Ini bukan negara milik keluarga tertentu … Saya miris melihat ini semua,” kata Reza dalam orasinya dari mobil komando.

Reza berorasi bergantian dengan pedemo lain, termasuk komika Abdur Arsyad yang berteriak “Kita semua cari kerja sendiri, bukan dibantu bapak!” dan Bintang Emon yang berseru “Kalau belum umur 30 tahun, jangan nyalon dulu!”

“Keluarga tertentu” yang dimaksud Reza sudah pasti keluarga Jokowi, sedangkan orang yang disindir “belum berumur 30 tahun” dan “cari kerja dibantu bapak” sudah jelas Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi yang semula hendak dicalonkan menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah mendampingi cagub Jateng Komjen Ahmad Luthfi.

Kini, Kaesang dan istrinya dikuliti warganet. Mereka jadi bulan-bulanan di media sosial, antara lain karena berangkat ke Amerika Serikat dengan pesawat jet pribadi dan dianggap mempertontonkan kemewahan, menandakan ia tidak peka dengan situasi di tanah air.

Putusan MK, Awal Gempa Politik yang Kandaskan Kaesang, Selasa, 20 Agustus, hanya seminggu menjelang pendaftaran pasangan calon kepala daerah, Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan Nomor 60 dan 70 yang mengubah syarat ambang batas pencalonan dan batas usia kepala daerah.

Dalam Putusan 60, MK menurunkan ambang batas minimal sebagai syarat pencalonan menjadi setara dengan calon independen, yakni 6,5–10%, tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di daerah tersebut. Sebelumnya, pada pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, ambang batas itu minimal memiliki 20% kursi DPRD atau 25% suara sah partai/gabungan partai.

Putusan itu tak pelak membuka peluang bagi lebih banyak tokoh untuk diusung, dan berpotensi mengikis dominasi koalisi Prabowo (Koalisi Indonesia Maju Plus) di pilkada.

Berikutnya, dalam Putusan 70, MK menyatakan syarat usia calon kepala daerah dan wakilnya dihitung saat mereka mendaftar ke KPU, bukan saat pelantikan.

Tafsir MK tersebut berbeda dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 23 yang diketuk tiga bulan sebelumnya, pada 29 Mei. Dalam Putusan 23 MA, syarat usia calon kepala daerah ialah minimal 30 tahun saat dilantik, bukan saat mendaftar.
Putusan 23 adalah hasil gugatan Ketua Umum Partai Garuda yang dikabulkan oleh MA. Putusan ini membuka jalan bagi Kaesang Pangarep—yang kini berusia 29 tahun—untuk diajukan jadi cawagub, sebab ia sudah berumur 30 tahun ketika dilantik nanti (jika memenangi Pilkada Jateng).

Berdasarkan usulan Mendagri, pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2024 kemungkinan berlangsung bertahap mulai Januari 2025, sedangkan Kaesang akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. Artinya, bila memakai Putusan MA, Kaesang akan melenggang mulus ke kursi Wagub Jateng. Terlebih, sang cagub, Komjen Ahmad Luthfi—yang telah bertugas sebagai Wakapolda dan Kapolda Jateng selama enam tahun—merupakan kandidat kuat di Jawa Tengah.

Rencana tinggal rencana. Skenario itu terancam buyar setelah MK mengeluarkan Putusan 70. Kaesang tak bisa diusung di pilkada karena masih berusia 29 tahun saat pendaftaran paslon pada 27–29 Agustus 2024. MK menegaskan, syarat usia calon dihitung saat mendaftar ke KPU, bukan ketika dilantik.

Kemarahan masyarakat terhadap kebijakan politik yang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK) terus membesar. Tak cuma dari pihak keluarga, masyarakat umum juga merasa tidak adil dengan revisi Undang-Undang Pilkada yang dianggap menguntungkan elit politik dan mencederai demokrasi.

Menurut data yang dihimpun dari berbagai sumber, rapat pleno MK yang memutuskan perubahan ambang batas pencalonan dan usia calon kepala daerah berlangsung selama empat hari. Keputusan MK tersebut menerima banyak sorotan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk pegiat demokrasi, lembaga independen, dan pakar hukum.

Terlepas dari kontroversi yang timbul, penurunan ambang batas pencalonan diharapkan membuka peluang bagi tokoh muda atau independen untuk bersaing dalam Pilkada. Namun, perubahan tersebut juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menilai hal ini sebagai langkah positif untuk memperkuat demokrasi, namun di sisi lain, ada pula yang menilai keputusan MK ini menjadi pemecah belah dan mengikis kualitas kepemimpinan di daerah.

Selain itu, reaksi masyarakat terhadap putusan MK juga tercermin dalam media sosial. Berbagai hashtag yang merespons keputusan MK mulai bermunculan, banyak di antaranya menyoroti keadilan dan transparansi dalam keputusan hukum yang diambil. Opini-opini yang disampaikan oleh publik menggambarkan kekhawatiran terhadap dinamika politik dan kenegaraan yang turut mempengaruhi rasa keadilan di masyarakat.

Perubahan kondisi politik pasca-putusan MK juga berdampak langsung pada dinamika pilkada di beberapa daerah. Kandidat-kandidat yang sebelumnya dianggap tidak memenuhi syarat kini muncul sebagai potensi pesaing baru dalam mendapatkan dukungan masyarakat. Selain itu, koalisi politik yang sebelumnya kuat juga mulai goyah dan terbagi dalam menentukan strategi dan langkah politik selanjutnya.

Dari sisi politik Jawa Tengah, terdapat pergeseran dinamika yang cukup signifikan dimana calon wakil gubernur yang sebelumnya diusung tidak bisa lagi bertarung dalam pilkada. Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan MK memiliki konsekuensi yang luas terhadap politik daerah, bukan hanya terfokus pada isu-isu nasional.

Dengan adanya perubahan signifikan dalam aturan pelaksanaan pilkada, diharapkan masyarakat dapat terlibat secara lebih aktif dalam proses politik dan memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang dianggap mampu mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat secara adil dan representatif.

Dari peristiwa ini, dapat diambil hikmah bahwa partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan politik sangat penting dalam memperkuat demokrasi. Kerjasama antara pemerintah, lembaga independen, dan masyarakat dibutuhkan untuk menciptakan regulasi yang adil dan berkelanjutan dalam proses politik dan pemilihan umum di Indonesia.

Facebook Comments Box

Read More

TVS Callisto 110 Intelligo: Pilihan Matic Retro Lebih Murah dengan Konektivitas Smartphone

8 January 2025 - 11:28 WIB

Kenali 4 Perbedaan Plat Nomor Mobil Listrik

19 December 2024 - 22:16 WIB

AHM Resmikan Harga Motor Listrik ICON dan CUV Mulai Rp28 Juta!

17 December 2024 - 17:19 WIB

Pentingnya Bank Garansi dan Surety Bond dalam Dunia Bisnis

13 December 2024 - 23:46 WIB

Mengenal Precast Saluran Air dan Saluran Beton Pracetak

13 December 2024 - 23:36 WIB

Trending on Bisnis