Nama Presiden Jokowi memenuhi pemberitaan karena dugaan wawancara ‘settingan’ di Kompleks Istana Kepresidenan. Tindakan ini mendapat perhatian publik setelah peristiwa pada 27 Agustus yang lalu.
Sejumlah orang seakan mendadak menjadi wartawan dengan mengajukan pertanyaan, “Pak, ada tanggapan terkait dengan sejumlah demo yang belakangan terjadi? Dan bagaimana tanggapan Bapak terhadap mahasiswa yang ditahan?” Jokowi tersenyum mendengar pertanyaan tersebut.
Yang menarik bukanlah jawaban dari pertanyaan tersebut, melainkan situasi sekitar saat wawancara doorstop berlangsung. Doorstop dilakukan di kawasan Istana Merdeka, hanya ada dua microphone dan 3 buah handphone yang disodorkan kepada Jokowi. Tidak terlihat microphone dengan logo televisi, dan tidak ada suara gaduh yang biasanya terjadi saat wartawan melakukan doorstop.
Upaya ini memberi kelonggaran bagi Jokowi dalam memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut tanpa ada gangguan. Ia menyampaikan, “Indonesia, negara kita ini, adalah negara demokrasi. Penyampaian aspirasi, penyampaian pendapat, ini adalah hal yang baik dalam demokrasi. Saya sangat menghargai itu, saya sangat menghormati itu.”
Setelahnya, wawancara berlanjut tanpa adanya pertanyaan yang berseliweran. Muncul spekulasi bahwa pelaku doorstop tersebut adalah para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di lingkungan Istana.
Peristiwa serupa pernah menjadi pusat perhatian pada Januari 2024, ketika soal keterlibatan Presiden dalam kampanye Pilpres di Istana Bogor menjadi isu hangat. Jokowi diduga melakukan kampanye untuk salah satu calon dengan menggunakan label kunjungan kerja.
Spekulasi ini mencuat setelah pernyataan Jokowi tentang hak Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan kampanye berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2017, terutama di Pasal 299. Jokowi juga membawa kertas yang berisi penjelasan mengenai UU tersebut. Namun, suasana pada sesi wawancara pada 27 Agustus hampir sama dengan kejadian sebelumnya. Jokowi hanya memberikan penjelasan, tanpa ada suara gaduh wartawan atau kehadiran microphone dengan logo televisi.
Pertanyaan pun muncul, apakah ini merupakan upaya pengaturan wawancara yang telah tertata sebelumnya? Dan siapa yang sebenarnya menjadi pihak yang bertanya dan mempersiapkan materi wawancara? Semua hal ini tentunya membutuhkan klarifikasi lebih lanjut agar tidak menimbulkan keraguan di tengah masyarakat.
Dengan adanya indikasi wawancara ‘settingan’, perlu adanya ketegasan dalam menegakkan prinsip keterbukaan dan transparansi informasi, terutama dari pihak yang berwajib, agar publik tidak merasa dikecoh. Jaminan atas kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya juga menjadi hal yang krusial dalam konteks ini.