Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II A Palembang menegaskan bahwa isu yang menyebutkan Lina Mukherjee, yang divonis atas kasus penistaan agama terkait konten makan babi, sedang hamil adalah tidak benar. Kepala Lapas Perempuan Kelas IIA Palembang, Ike Rahmawati, menyatakan hal ini dalam keterangan kepada wartawan pada Selasa (16/7/2024).
Isu tentang kehamilan Lina Mukherjee pertama kali muncul di media sosial, yang menyebutkan bahwa perempuan yang memiliki nama asli Lina Lutfiawati tersebut sedang mengandung anak dari penyanyi dangdut Saipul Jamil. Namun, Ike menegaskan bahwa pihak Lapas telah memeriksa kebenaran isu tersebut dan hasilnya menunjukkan bahwa Lina tidak dalam kondisi hamil.
Sebelumnya, Lina Mukherjee telah divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 250 juta pada Selasa (19/9/2023) atas unggahan kontennya yang memakan kulit babi sambil mengucapkan kata “bismillah”. Perbuatannya dianggap melanggar Pasal 45 ayat (2) Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam masa tahanannya, Lina sering dikunjungi oleh Saipul Jamil di Lapas Perempuan Palembang. Kabar yang beredar menyebutkan bahwa keduanya telah menjalin hubungan asmara. Menurut Ike, Saipul Jamil telah berkunjung ke Lapas Palembang untuk melihat Lina sebanyak tiga kali, dengan kunjungan terakhir pada bulan Mei.
Namun, Ike menegaskan bahwa selama kunjungan tersebut, Saipul Jamil tetap tunduk pada aturan yang berlaku di Lapas. Tidak ada perlakuan istimewa yang diberikan kepada Lina maupun Saipul. “Lina pun merespon dengan canda ketika dikabarkan hamil,” tambah Ike.
Dengan demikian, dari penjelasan yang disampaikan oleh pihak Lapas Palembang, dapat dipastikan bahwa isu yang menyebutkan kehamilan Lina Mukherjee tidaklah benar. Hal ini menjadi bagian penting dalam menjaga akurasi informasi terutama terkait dengan narapidana yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Konten ini menunjukkan pentingnya kebijakan yang ketat dalam memberikan informasi kepada publik terkait kondisi narapidana. Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya fokus pada rehabilitasi narapidana tanpa melibatkan isu-isu yang dapat merugikan nama baik narapidana maupun pihak yang terlibat. Selain itu, kasus ini juga mencerminkan bagaimana media sosial dapat menjadi sumber informasi yang tidak selalu akurat, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam menyebarkan dan mempercayai informasi yang beredar di platform media sosial.