Mantan Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Agung Pratama, mengungkapkan bahwa dirinya menerima gaji sebesar Rp 200 juta setiap bulannya. Pengakuan tersebut mengejutkan hakim dalam persidangan kasus korupsi timah yang menjerat Harvey Moeis.
Agung Pratama menjadi saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis (29/8). Dalam persidangan tersebut, hakim sempat menanyakan mengenai besaran gaji yang diterima Agung sebagai seorang direktur. Jawaban dari Agung membuat hakim terkejut.
Hakim mempertanyakan kapan gaji sebesar Rp 200 juta itu diterima oleh Agung, dan tak lama setelahnya, Agung juga menyebutkan bahwa hal tersebut terjadi pada tahun 2020. Keterangan ini semakin menambah rasa heran hakim atas besaran gaji yang diterima oleh Agung.
Selain itu, hakim juga menanyakan apakah gaji yang diterima oleh Agung merupakan jumlah netto atau masih dalam jumlah bruto, serta apakah telah dikenai pajak. Agung menjelaskan bahwa gajinya telah dipotong pajak. Hakim pun melanjutkan pertanyaannya dengan menanyakan apakah Agung menerima insentif selain gaji bulanan Rp 200 juta, namun Agung menegaskan bahwa tidak ada insentif tambahan.
Tidak hanya Agung, saksi lain yang dihadirkan dalam persidangan, yaitu Direktur Keuangan PT Timah, Vina Eliani, juga mengonfirmasi bahwa besaran gajinya berada dalam kisaran yang sama dengan gaji yang diterima Agung. Hakim pun mencecar Vina mengenai gaji yang diterima Direktur Utama PT Timah, saat itu, Vina mengungkapkan bahwa porsinya sekitar 85% dari gaji Direktur Utama, dimana besaran gajinya mencapai sekitar Rp 240 juta.
Dalam dakwaan kasus korupsi timah, terungkap bahwa total kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Angka ini didasarkan pada Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara terkait dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di PT Timah, Tbk dari tahun 2015 hingga tahun 2022.
Adapun, jaksa merinci kerugian tersebut ke dalam beberapa klaster, yaitu kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat proses pelogaman timah yang tidak sesuai ketentuan, kerugian negara atas pembayaran biji timah dari tambang timah ilegal, dan kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal.
Penambangan ilegal juga menjadi bagian dari permasalahan yang dihadapi oleh industri tambang timah. Dampak dari kerugian lingkungan tersebut turut menjadi perhatian serius, karena hal ini tidak hanya berdampak pada kerugian finansial, namun juga berpotensi merusak lingkungan secara luas. Oleh karena itu, penegakan hukum dan pengawasan yang ketat menjadi hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya kerugian negara dan kerusakan lingkungan lebih lanjut.
Dari keterangan saksi-saksi dan rinciannya, kasus ini menggambarkan kondisi serius dalam industri tambang timah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak boleh tergantung pada praktik ilegal dan korupsi demi kepentingan individu. Perlindungan terhadap kekayaan alam harus menjadi prioritas, sehingga dapat memberikan manfaat yang adil dan berkelanjutan bagi negara dan masyarakat secara keseluruhan.