Dalam menghadapi pendaftaran calon-calon untuk Pilkada yang akan berlangsung pada 27 Agustus mendatang, politik Tanah Air semakin dipenuhi oleh dinamika yang semakin memanas. Berbagai perubahan yang terjadi di Pilkada Jakarta, khususnya terkait pemilihan calon gubernur, mengukuhkan posisi serta memberi pengaruh terhadap kekuatan politik nasional dan pimpinan partai politik.
Kontestasi politik terbaru mengungkapkan upaya ‘dijegalnya’ Anies Baswedan demi mendapatkan tiket Pilkada Jakarta. Meskipun awalnya Anies mendapat sinyal dukungan dari tiga partai politik, yakni Nasdem, PKS, dan PKB, namun kemudian sinyal tersebut mulai melemah bahkan menghilang.
PKS yang semula diyakini akan tetap mengusung Anies, akhirnya memberikan sinyal kuat akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran. Dampak dari keputusan tersebut berdampak pada Pilkada Jakarta, di mana PKS akan bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dan memberikan dukungan pada Ridwan Kamil.
Menariknya, keputusan PKS tersebut berbanding terbalik dengan keinginan massa dan simpatisan PKS di Jakarta yang tetap mendukung Anies. Dalam mendukung Ridwan Kamil, PKS kemudian diberi jatah wakil gubernur, di mana nama yang sudah disepakati oleh koalisi tersebut adalah Suswono, Menteri Pertanian pada masa pemerintahan Presiden SBY.
Sementara itu, Nasdem dan PKB juga memberikan sinyal lebih dulu untuk bergabung dengan Pemerintahan Prabowo-Gibran. Khusus untuk PKB, jika partai tersebut tetap mendukung Anies di Jakarta, maka Muhaimin Iskandar berpotensi akan kehilangan kursi ketua umum yang telah didudukinya selama bertahun-tahun.
Isu mengenai potensi terdongkelnya Muhaimin, atau akrab disapa Cak Imin, tidak lepas dari perhatian PBNU yang mempertanyakan kemampuan Cak Imin dalam mengelola PKB. Mantan politisi PKB yang dulunya dekat dengan Cak Imin, seperti Lukman Edy dan Effendy Choirie alias Gus Choi, juga turut memberikan kesaksian mengenai ‘dosa-dosa Cak Imin’ selama ini.
Kabar mengenai mundurnya seorang ketua umum partai politik di akhir pekan ini juga menjadi sorotan karena begitu mengejutkan. Meskipun belum bisa dipastikan siapa ketua umum partai politik yang akan mundur, namun nama Airlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar, santer disebut-sebut. Bahkan, kabar beredar bahwa Airlangga telah meneken surat pengunduran dirinya pada Minggu (11/8/2024) dini hari.
Kehadiran beberapa isu menarik dalam Pilkada menjadi ciri khas tajam dalam politik Indonesia. Demikian pula dengan koalisi KIM yang bertekad untuk selalu bersama dalam Pilkada, baik dalam pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota. Namun, untuk merealisasikan tekad tersebut, dibutuhkan negosiasi-negosiasi tingkat tinggi.
Sejumlah Pemilihan Gubernur yang selama ini menjadi negosiasi alot di antara KIM, sudah terlihat. Misalnya, Pilkada Sumut yang akan mengusung menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution, Pilkada Jawa Barat yang mengusung Dedi Mulyadi, Pilkada Banten yang akan mengusung Andra Sony, Pilkada Jakarta yang akan mengusung Ridwan Kamil, dan Pilkada Jawa Tengah yang akan mengusung Ahmad Luthfi.
Dari semua Pilkada tersebut, Pilkada Jawa Barat, Pilkada Jakarta, dan Pilkada Banten menjadi perhatian khusus karena para tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi di tiga provinsi tersebut tidak dipilih oleh KIM. Keserupaan situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai faktor yang mendominasi keputusan politik dalam pemilihan calon gubernur.
Ridwan Kamil yang merupakan mantan Gubernur Jabar yang memiliki elektabilitas paling tinggi di Jawa Barat, justru digeser ke Jakarta. Padahal Ridwan Kamil juga bertindak sebagai ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran Jawa Barat. Begitu pula dengan Airin Rachmi Diany yang memiliki elektabilitas paling tinggi di Banten, tidak dipilih oleh Gerindra cs, meskipun Airin adalah ketua TKD Prabowo-Gibran Banten.
Sementara Anies Baswedan, yang memiliki elektabilitas paling tinggi di Jakarta, juga gagal mendapatkan tiket. Anies yang memberikan kontribusi signifikan pada perolehan suara PKS, Nasdem, dan PKB dalam Pemilihan Umum sebelumnya, akhirnya ditinggalkan oleh partai-partai tersebut dalam Pilkada Jakarta.
Cara negosiasi dalam politik Pilkada yang berlangsung memberikan gambaran betapa rumitnya proses pengambilan keputusan politik. Proses negosiasi menjadi sangat penting dan menentukan dalam membangun koalisi yang solid untuk memenangkan kontestasi politik. Hal ini menunjukkan bagaimana interaksi antara partai politik dan tokoh-tokoh yang diusung, yang kemudian memberikan dampak pada dinamika politik nasional.
Adanya isu-isu yang muncul di tengah-tengah proses negosiasi politik Pilkada, turut memberikan tekanan tekanan pada pimpinan partai politik. Salah satunya adalah kabar mengenai mundurnya Airlangga Hartarto dari jabatan ketua umum Partai Golkar. Jika kabar tersebut benar, maka hal ini menjadi bukti bahwa tekanan-tekanan dalam negosiasi Pilkada saat ini lebih dahsyat dibandingkan dengan Pilpres sebelumnya.
Upaya-upaya konsolidasi dan koordinasi politik dalam Pilkada perlu diapresiasi sebagai bagian dari upaya memperkuat demokrasi di tanah air. Meskipun begitu, perlu juga dipahami bahwa dinamika politik seperti ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik di Indonesia, yang terus mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.