Mencari hunian idaman nan pas dengan kebutuhan menjadi pekerjaan rumit bagi para pekerja muda di Jakarta. Mahal dan langkanya hunian di kota metropolitan ini memberikan dilema tersendiri bagi mereka. Lokasi, harga, akses transportasi, dan cicilan menjadi faktor utama dalam memilih hunian, baik itu dengan konsep ngontrak maupun membeli rumah dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Kiki (30) mempertimbangkan lokasi yang strategis dan harga sebagai faktor utama dalam mencari hunian. Meskipun bekerja di Jakarta Selatan, ia akhirnya memutuskan untuk membeli rumah di Parung Panjang, Bogor, karena harganya lebih ramah di kantong dengan sistem kredit. “Karena di Jakarta mahal, yang murah ada tapi apartemen. Kalaupun (rumah) ada di Jakarta, pasti mepet banget ke pinggir dan jauh dari akses transportasi,” katanya kepada kumparan.
Setelah memutuskan untuk mengambil KPR, Kiki terpaksa harus melakukan survei ke beberapa lokasi untuk melihat aksesnya terhadap transportasi umum, fasilitas kesehatan, hiburan, dan pasar. Meski sudah memilih lokasinya, dia pun merasa masih ada beberapa hal yang mengganjal hati.
“Dari sisi transportasi menguntungkan karena deket sama stasiun, tapi di sisi lain jalan rayanya enggak bermutu, bolong-bolong, banyak truk besar melintas, warganya kurang terbiasa tertib untuk pakai helm dan banyak kecelakaan,” keluhnya.
Isna (29), pekerja muda lainnya, juga memiliki kesulitan utama dalam mencari rumah, yaitu mempertimbangkan lokasi yang tidak terlalu jauh dari tempat bekerjanya di Jakarta Selatan, namun tetap terjangkau cicilannya. Akhirnya, ia juga memilih lokasi di Parung.
Walaupun begitu, Isna mengakui rumah tersebut masih cukup jauh dari tempatnya bekerja. Sambil mencicil KPR, ia saat ini tinggal sementara di rumah mertuanya di kawasan Jakarta Pusat.
Persoalan jauh atau tidaknya dengan tempat bekerja akhirnya memunculkan opsi lain bagi para pekerja di Jakarta untuk memiliki tempat bernaung, yaitu dengan mekanisme sewa atau kontrak baik itu rumah maupun apartemen.
Selain terkait efisiensi jarak, keputusan sewa rumah atau apartemen juga didasari oleh kondisi finansial yang belum memadai untuk membeli dan mencicil KPR di wilayah Jabodetabek. Apalagi, tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) kini berada di level 6,25 persen.
Dilla (28), seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), memilih untuk menyewa apartemen bersama suaminya di kawasan Jakarta Pusat. Untuk sementara waktu, ia menilai sewa apartemen lebih efisien ketimbang membeli rumah.
“Sekarang ini susah banget ya cari rumah dengan lokasi yang strategis. Pilihan hunian di Jakarta sekarang makin menipis, jadi kita pilih sewa apartemen. Tinggal di apartemen itu untungnya karena berada di tengah kota dan akses ke transportasinya mudah,” ungkapnya.
Namun, ia mengakui masih berencana membeli rumah dengan KPR di Jakarta, sehingga menabung untuk uang muka (down payment) yang tidak murah menjadi salah satu prioritasnya saat ini.
“Perlu pertimbangan lokasi dan jarak ke kantor dan yang saat ini saya lakukan adalah menabung DP yang besar untuk meringankan cicilan KPR di masa depan,” imbuhnya.
Aris (30), seorang pekerja swasta di Jakarta Selatan, juga memiliki pertimbangan yang sama. Ia memilih untuk mengontrak rumah bersama istrinya di kawasan Cibubur.
“Pertimbangan kontrak itu pilihan pas dengan hitung-hitungan finansial kami sebagai pasangan baru. Kalau langsung ambil rumah kan selain ada utang, harus sudah siapin dana buat beli semua furniture, nanti ada lagi renovasi dapur atau teras, biasanya rumah KPR yang terjangkau itu belum dibangun full,” tuturnya.
Menurutnya, membeli rumah di Jakarta terlalu sulit dijangkau oleh pekerja dengan upah yang pas-pasan. Ia pun mengaku belum siap untuk mencicil KPR dengan bunga dan tempo yang sangat panjang, sehingga ia masih akan menyewa rumah setidaknya dalam 2 tahun mendatang.
Dari cerita-cerita para pekerja muda di Jakarta itu, dapat disimpulkan bahwa memilih antara ngontrak dan cicil KPR merupakan suatu dilema yang kompleks. Berbagai pertimbangan finansial, lokasi tempat bekerja, harga hunian, dan kebutuhan serta keinginan individu menjadi faktor-faktor utama dalam membuat keputusan terkait perumahan. Masing-masing memiliki tantangan dan keuntungan tersendiri, namun pada akhirnya, keputusan tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing individu. Dalam kondisi pasar hunian yang terus berubah, pertimbangan tersebut menjadi semakin penting dalam memastikan kenyamanan dan kestabilan hidup bagi para pekerja muda di Jakarta. Beberapa data statistik atau survei terkait preferensi hunian di Jakarta juga akan memberikan data yang relevan bagi pembaca untuk memahami permasalahan ini lebih mendalam.