Presiden Jokowi baru-baru ini mengesahkan aturan yang memungkinkan pekerja perempuan untuk mengambil cuti melahirkan hingga 6 bulan. Meskipun demikian, keputusan ini menuai kekhawatiran bahwa pengusaha akan berpikir dua kali sebelum merekrut perempuan di perusahaan mereka.
Namun, Jokowi menekankan bahwa aturan tersebut seharusnya tidak menjadi alasan bagi pengusaha untuk enggan merekrut tenaga kerja perempuan. “Ya, kita harapkan tidak seperti itu, karena apa pun kita harus menghargai perempuan,” ujar Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin (8/7).
Selain itu, Jokowi juga menegaskan perlunya penghormatan dan doa bagi ibu hamil agar bayi yang dikandungnya dapat lahir dengan sehat. “Jadi kalau diberikan cuti seperti itu, saya kira untuk mempersiapkan kelahiran dan merawat bayinya saya kira sangat manusiawi,” tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Sarman Simanjorang, menolak klaim bahwa undang-undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) akan menyebabkan penurunan rekrutmen perempuan di perusahaan. Menurut Sarman, beberapa divisi tertentu memang membutuhkan kehadiran perempuan, dan tambahan cuti melahirkan ini seharusnya tidak mengakibatkan diskriminasi terhadap mereka.
“Saya rasa tidak sejauh itu, ya, bahwa perusahaan dengan adanya kebijakan yang baru ini akan membatasi pekerja perempuan. Saya rasa tidak, ya, karena memang semua berdasarkan profesionalisme, kebutuhan dari pengusaha,” ungkap Sarman kepada kumparan pada Rabu (5/6).
Pentingnya kesetaraan gender dan peran perempuan dalam dunia kerja adalah hal yang harus terus diperjuangkan. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia masih rendah, yakni sekitar 51% pada tahun 2019. Dengan mendorong kebijakan seperti cuti melahirkan yang lebih panjang, diharapkan dapat membantu meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia kerja.
Tentu saja, upaya tersebut juga harus diiringi dengan dukungan infrastruktur dan lingkungan kerja yang inklusif bagi perempuan. Dalam hal ini, peran pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung bagi perempuan.
Sebagai langkah nyata untuk mendukung perempuan dalam dunia kerja, pemerintah juga perlu mempertimbangkan insentif-insentif bagi perusahaan yang menyediakan fasilitas-parenting yang memadai, seperti ruang menyusui dan tempat penitipan anak. Dukungan ini akan menciptakan lingkungan kerja yang lebih ramah dan inklusif bagi perempuan, serta membantu mengatasi hambatan-hambatan yang mungkin dihadapi oleh perempuan yang ingin kembali bekerja pasca-melahirkan.
Perlu diingat bahwa kesetaraan gender bukanlah hanya tanggung jawab pemerintah semata. Pengusaha juga memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan lingkungan kerja yang adil dan inklusif bagi seluruh karyawannya. Selain itu, dalam jangka panjang, partisipasi perempuan dalam dunia kerja akan memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan kepemimpinan di berbagai sektor.
Dalam implementasi kebijakan ini, peran dari asosiasi bisnis dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga sangat diperlukan. Mereka dapat memberikan pembinaan dan bimbingan kepada perusahaan-perusahaan untuk menerapkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan partisipasi perempuan dalam dunia kerja.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil, diharapkan dapat tercipta lingkungan kerja yang lebih inklusif dan mendukung bagi perempuan di Indonesia. Dengan demikian, aturan cuti melahirkan yang lebih panjang menjadi bagian dari upaya yang lebih besar untuk mendorong kesetaraan gender, memajukan peran perempuan dalam dunia kerja, serta memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa.